Home » Siapa Manusia? (Bagian Pertama)
Makhluk aneh yang menghuni bumi ini seringkali soleh bak malaikat, berdiri dan bersujud sepanjang malam suntuk untuk menyembah Tuhannya sementara semua orang sedang tertidur lelap; ia berikan hartanya untuk menolong, bahkan nyawanya ia tukar demi bangsa dan agamanya. Tetapi ia juga seringkali berbuat bodoh: berdoa kepada batu yang bisu, memperkaya diri dengan menipu, hingga merampas nyawa demi hawa nafsu. Bagaimanakah manusia dapat menjadi bak malaikat tetapi juga dapat menjelma menjadi Iblis? Siapakah manusia?
Bagi manusia umumnya pada masa kini, yang tergila-gila dengan “agama” sains, manusia adalah binatang yang berfikir, thinking animal, حَيَوَانٌ نَاطِقٌ (hewan yang berbicara). Manusia hanya binatang, kelebihannya hanya karena ia mempunyai akal.
Menurut manusia modern, dengan akalnya, manusia mengembangkan bahasa dan lambang-lambang, berkomunikasi dengan sesama, dan menyusun ide-ide untuk membangun dunianya: dari menemukan roda, ia ciptakan kereta; dari menemukan angka nol, ia kembangkan matematika untuk menghitung laju bintang di angkasa. Tetapi, darimanakah akal “bulus”nya itu muncul? Manusia modern akan menjawab, “dari hasil evolusi selama jutaan tahun.”
Manusia, topik bahasan kita, mulai berevolusi dari kera menjadi manusia sekitar tujuh juta tahun yang lalu, di Afrika. Pada mulanya, kera berevolusi menjadi tiga spesies: baboon, simpanse, dan “kera-calon-manusia”.
Sekitar empat juta tahun kemudian, “kera-calon-manusia”—yang bentuknya tak lebih dari kera yang kita kenal—berevolusi menjadi “kera yang rada-rada berjalan dengan dua kaki”, bipedal. Para arkeolog menyebutnya australopithecus.
Lalu, sekitar satu juta kemudian, australopithecus bukan hanya dapat berjalan dengan dua kaki, tetapi juga sudah mampu berdiri dan berjalan tegak bak Sun Go Kong dalam film Kera Sakti atau Hanoman dalam kisah Ramayana. Penemuan tulang belulangnya yang berserakan di Trinil, Jawa, Indonesia, dianggap sebagai buktinya. Kera yang berdiri tegak ini dinamakan pithecanthropus erectus paleo javanicus.
Kemudian, sekitar empat puluh ribu tahun yang lalu, spesies ini berevolusi menjadi spesies yang lebih sempurna: manusia, yang disebut homo sapiens.
Kembali ke pertanyaan sebelumnya, bagaimanakah akal manusia itu muncul? Konsisten dengan teori evolusi, menurut manusia modern, akal pun berevolusi.
Manusia modern sangat “mekanistik”, menilai kerja alam hanya dari sudut pandang fisika-kimia. Menurut mereka, apa yang disebut akal pun merupakan manifestasi dari organ tubuh kita yang bernama “otak”.
Pada mulanya, australopithecus memiliki volume otak (diukur dari tengkoraknya) sekitar 500cc. Dengan otak sebesar itu ia hanya mampu memipihkan batu. Lalu, setelah berevolusi menjadi pithecanthropus erectus otaknya menjadi 900cc, dengan otak itu ia dapat membuat tombak bermata batu runcing untuk berburu mamouth. Kemudian, setelah menjadi homo sapiens atau manusia, otaknya berkembang menjadi 1400cc dan kini dapat menciptakan pesawat terbang.
Selama ratusan tahun, narasi indah di atas dianggap sebagai teori terjadinya manusia. Hingga kini, teori di atas dipelajari di sekolah-sekolah, termasuk, mungkin, di sekolah di mana kita pernah belajar.
Lalu, bagaimanakah dengan ajaran Al-Qur’an mengenai penciptaan Adam dan Hawa yang “turun” ke bumi—dari surga? Jika meyakini evolusi, bukankah itu sama halnya dengan menolak teori “Tuhan Menciptakan manusia dan alam semesta”? Karena menurut teori evolusi, perubahan spesies dari kera ke manusia terjadi karena kebetulan dan kecelakaan, yaitu karena kecelakaan genetik yang disebut dengan “mutasi.” Lalu apa yang bisa kita lakukan? Bagaimana kita menyikapi pertentangan antara teori evolusi dan kisah penciptaan Adam?
Kedua, mungkin pula, kita mencoba memihak sains modern dengan teori evolusinya. Tentu saja, memihak sains akan lebih aman karena semua orang di dunia modern menganggap sains adalah kebenaran, berbicara dengan sains juga terdengar lebih bergengsi, dan konsekuensi menolak sains serasa menolak kesepakatan semua manusia di dunia. Ini biasanya dilakukan oleh “muslim KTP” atau muslim berhaluan sekuler.
Namun, yang ketiga, boleh jadi kita ingin mendamaikan kedua narasi tersebut dengan mengatakan “Tuhan menciptakan manusia melalui proses evolusi dan Adam adalah homo sapiens pertama.”
Pendekatan kompromi di atas menunjukkan bahwa kita tetap menjadi muslim yang taat karena meyakini ajaran (literal) “Allah Menciptakan manusia” dan sekaligus menerima sains modern. Win-win solution. Pendekatan yang satu ini dianut oleh banyak ilmuwan muslim progresif seperti Agus Mustofa, Nidhal Guessoum, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Abdullah Yusuf Ali, Fazlur Rahman, Ayatullah Murtadha Muthahari, Muhammad Iqbal, dan lain-lain.
Akan tetapi, bagi saya, sebagai seorang muslim tekstual-rasional, pendekatan-pendekatan di atas jelas tidak tepat. Pertama, karena pendekatan kompromi di atas mesti “mengorbankan” kisah nabi Adam dengan menganggapnya sebagai metafor belaka atau menganggapnya lahir dari orang tua yang setengah-manusia-kera seperti termaktub dalam buku “Ternyata Adam Dilahirkan”. Padahal, kisah Nabi Adam dalam Al-Qur’an dan Hadits dijelaskan dengan sangat rinci, sama dengan kisah nabi-nabi yang lain. Dampaknya, jika kisah Adam adalah metafor, apakah itu artinya kisah nabi-nabi lain juga metafor alias tidak benar-benar ada di dunia nyata?
Alasan kedua mengapa pendekatan kompromistik di atas tidak tepat adalah karena teori evolusi makhluk hidup bertentangan dengan ilmu genetika.
Argumen pertama untuk menolak teori evolusi adalah karena ilmu genetika—cabang biologi yang mempelajari pewarisan gen sifat makhluk hidup—mempunyai hukum yang sudah pasti bahwa setiap spesies akan melahirkan spesies yang sama. Ikan cupang hanya menelurkan ikan cupang, gorila pun hanya melahirkan gorila. Ini adalah hukum biologi atau sunnatullah yang sudah pasti.
Ketika Charles Darwin (1809-1882) mengembangkan “teori evolusi makhluk hidup melalui seleksi alam”nya, ilmu genetika belum mapan, walaupun setiap orang di planet ini pasti paham bahwa ikan pasti akan beranak ikan, bukan kambing.
Lalu, tatkala ilmu genetika menjadi bintang di abad selanjutnya (bahkan hingga abad ini), maka para pendukung teori evolusi menggunakan ide “mutasi genetik” untuk membenarkan teorinya. Apa itu mutasi genetik? Menurut mereka, mutasi genetik adalah kecelakaan pada tingkat sel yang mengakibatkan satu spesies melahirkan spesies yang berbeda, semisal ikan melahirkan katak.
Pertanyaan kita sekarang adalah, jika di dunia ini ada tujuh juta spesies binatang maka apakah telah terjadi lebih dari tujuh juta mutasi? Apakah seekor reptil tiba-tiba melahirkan burung bersayap dan berbulu? ataukah memerlukan jutaan demi jutaan tahun untuk melahirkan keturunan berbulu, bersayap, dan seterusnya? Di manakah bukti fosil transisinya? Tidak ada.
Sekarang, marilah kita saksikan sistem dalam tubuh manusia, binatang dan tumbuhan. Semuanya adalah kesempurnaan. Dalam lingkup atomik, atom-atom bekerja sama membentuk sel, lalu menjadi jaringan dan organ tubuh. Ketika tubuh kita terluka, sel-sel tubuh kita beregenerasi sehingga perlahan-lahan luka kita menjadi sembuh. Bukankah kita dan alam semesta ini begitu sempurna?
Pada tahun 1926, Herman Joseph Muller (1890 – 1967), ahli genetika Amerika yang mendapatkan nobel di bidang kedokteran menemukan bahwa hampir seluruh mutasi itu berbahaya. Dalam proses evolusi yang normal, mutan (makhluk hidup yang bermutasi) yang berbahaya akan mati dan hanya sedikit saja yang berguna yang akan bertahan hidup. Artinya, mutasi genetik mestinya merusak sistem kehidupan, bukan menciptakan kehidupan dengan sistem yang sempurna.
Argumen kedua untuk menolak teori evolusi adalah hadits yang menyatakan bahwa Allah menciptakan Adam dari tanah, bukan dilahirkan. Banyak dalil (dari Al-Qur’an atau Hadits) yang menyebutkan penciptaan Adam dari tanah, antara lain:
Hadits di atas menunjukkan secara literal bahwa nabi Adam diciptakan dengan tanah, bukan dilahirkan. Penjelasan tentang rincian bahan baku tanah yang digunakan (tanah hitam, tanah merah, tanah putih, tanah baik, tanah lembut, tanah keras, tanah bergaram) menunjukkan adanya proses “pengadonan”.
Dalam kisah Adam, menafsirkan “penciptaan” dengan proses kelahiran melalui manusia purba (seperti dikatakan Agus Mustofa) agaknya sulit kita terima. Sebab, jika gen Adam merupakan mutasi, maka apakah Hawa, istrinya merupakan spesies hominid yang lain? Apakah perkawinan antara Adam dan Hawa adalah perkawinan antar spesies? Ataukah Adam menunggu beberapa juta tahun sebelum lahir Hawa sebagai hasil mutasi genetik yang sama-sama spesies manusia seperti Adam? Ini problematik.
Argumen ketiga untuk menolak teori evolusi adalah berdasarkan dalil hadits yang menyatakan bahwa Allah menciptakan Adam berdasarkan rancangan, gambar, atau bentukkan Allah sendiri, bahkan dengan tangan Allah sendiri. Dalil-dalilnya adalah sebagai berikut:
Jadi, Allah merancang dan membentuk Adam, dengan “Tangan”-Nya sendiri. Entah apa makna “Tangan” tersebut, tetapi, menurut hadits lain, hanya ada empat benda di dunia ini yang Allah ciptakan dengan “Tangan”-Nya sendiri. Pertama, ‘Arsy, kedua Al-Qolam, ketiga, Surga ‘Adn, dan terakhir, Adam.
Penciptaan Adam termasuk istimewa. Ide “kecelakaan genetik” jelas tidak menunjukkan apapun kecuali “kegagalan” dan “ketidaksengajaan.”
Argumen terakhir untuk menolak teori evolusi adalah berdasarkan kisah pengurbanan Qabil dan Habil.
Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)… (QS. Al-Maidah: 27)
Berdasarkan kisah di atas, dalam sejarah Islam, Qabil dan Habil telah menjadi petani dan peternak tanpa melalui proses evolusi dari fase berburu (food gathering) ke fase bertani (food making) seperti yang menjadi mainstream cerita evolusi manusia. Adam telah mengajarkan anak-anaknya berburu dan bertani.
Lalu, terakhir, setelah semua bantahan ini, bagaimana kita menjelaskan tengkorak dan tulang-belulang “manusia purba” yang telah ditemukan oleh para arkeolog?
Menurut saya, kita dapat mengatakan australopithecus adalah kera, demikian pula homo pithecanthropus erectus. Lagi pula, tulang-belulang temuan para arkeolog seringkali telah hancur berkeping-keping. Bagaimana mungkin hanya dari tulang-tulang yang telah hancur kita dapat membayangkan adanya kehidupan seperti pada gambar di bawah ini?
@ 2022 MisterArie. All right reserved.