misterarie
Facebook
WhatsApp
Email

Puisi Hari Guru Nasional 2025: Suara Hati Guru di Tengah Luka, Realita, dan Harapan

Realita Profesi Guru di Tengah Krisis Zaman

Guru hari ini berada di persimpangan yang paling kritis: dituntut untuk menghasilkan “Generasi Emas” di tengah realitas martabat yang kian tergerus. Pendidikan, yang seharusnya menjadi ruang sakral, kini terjerembap dalam arus “kapitalisasi” di mana sekolah beroperasi layaknya bisnis. Di era ini, makna harfiah murid—sebagai ‘orang yang menginginkan ilmu’—telah berganti menjadi ‘customer’ dengan hak-hak menuntut, sementara peran guru terdegradasi dari pendidik yang dihormati menjadi sekadar “customer service”. Kerentanan ini mencapai puncaknya ketika satu tindakan mendidik yang kecil pun dapat berujung pada meja hijau, menjebak para pahlawan tanpa tanda jasa ini antara kewajiban moral untuk membentuk karakter dan risiko hukum yang nyata. Mereka adalah penjaga peradaban yang berjuang dalam kesunyian, di bawah tekanan tuntutan tinggi dan minimnya perlindungan.

Puisi: Di Papan Tulis Retak Zaman

Di ruang kelas yang catnya mulai mengelupas, aku menulis mimpi di papan tulis yang lebih sering menyimpan bekas spidol daripada bekas terima kasih.

Dulu, orang tua menitipkan anak dengan hormat, “Ini anak saya, didiklah sesuka hati.” Kini, satu cubitan saja bisa berujung meja hijau, tuduhan kekerasan, dan kami berdiri sendiri di depan hukum, tanpa perlindungan yang pasti.

Di luar, layar-layar gawai bersinar terang, mengajarkan segalanya tanpa pernah mengajarkan hormat. Lalu kami—para guru— kadang hanya jadi target pelampiasan, dikeroyok tangan-tangan kecil yang lupa dididik untuk menggenggam doa, bukan menggenggam amarah.

Tonton: Guru Dianiaya Karena Menyita HP Siswa

Upah kami? Sering kali secukupnya untuk bertahan hidup, belum cukup untuk menyebutnya sejahtera. Terlebih bagi guru di sekolah swasta, di mana pendidikan sering terasa lebih mendahulukan bisnis, target untung, ketimbang memperhatikan nasib gurunya.

Kami disuruh jadi pahlawan, tapi memakai jubah yang bolong di belakang. Diminta mencetak generasi emas, dengan kapur yang patah dan kurikulum yang berubah lebih cepat dari cuaca.

Namun kami tahu, guru bukan sekadar profesi yang diukur dari slip gaji atau jumlah jam mengajar. Guru adalah amanah. Penjaga api kecil agar tak padam dalam dada anak-anak yang kelak menjadi pemimpin atau rakyat, hakim atau nelayan, imam atau buruh.

Maka kami belajar memaknai luka sebagai ladang sabar. Kami belajar memaknai hina sebagai ladang ikhlas. Sebab kami tak hanya mengajarkan membaca, tapi mengajarkan makna “Iqra”: membaca alam, membaca diri, membaca tanda-tanda kebesaran-Nya.

Sebab tujuan pendidikan bukan sekadar melahirkan yang pandai menghitung, tapi yang pandai bersujud. Bukan hanya mencetak juara lomba, tapi membentuk hamba yang tahu adab sebelum ilmu.

Kami ingin anak-anak ini tumbuh bukan hanya cerdas, tapi bertaqwa. Tahu membedakan mana yang viral dan mana yang benar. Mana yang populer dan mana yang berpahala.

Di Hari Guru ini, kami tidak menuntut disanjung, tidak meminta karangan bunga, cukup jangan lupa bahwa di balik satu siswa hebat, ada guru yang pernah lelah namun tak pernah berhenti mendoakan.

Kami hanya berharap: ada kebijakan yang lebih adil, ada perlindungan yang lebih nyata, ada gaji yang lebih manusiawi, dan ada penghargaan yang tak hanya keluar saat upacara. Kami berharap: guru tak lagi jadi korban, tapi menjadi penjaga masa depan yang dilindungi oleh zamannya sendiri.

Dan dari hati kami yang masih setia mencinta papan tulis, kami berdoa: semoga pendidikan di negeri ini tak lagi sekadar proyek atau komoditas bisnis, tapi benar-benar jalan menuju peradaban. Agar profesi guru tak hanya dikenang tiap 25 November, tapi dihargai setiap hari di dalam tindakan.

Filosofi Pendidikan Guru dalam Perspektif Islam

Dalam filosofi pendidikan Islam, kedudukan guru (mu’allim atau murabbi) adalah sangat mulia dan sentral, melampaui sekadar penyampai informasi. Guru dipandang sebagai pewaris para nabi (warathat al-anbiya’) yang mengemban tugas suci (amanah) untuk membimbing manusia menuju kebenaran (haq) dan jalan yang lurus. Peran utama guru adalah sebagai ‘Murabbi’ (pendidik yang membentuk karakter dan spiritualitas), ‘Mu’allim’ (pengajar ilmu pengetahuan), dan ‘Mu’addib’ (pembentuk adab dan etika). Tujuan pendidikan Islam adalah melahirkan manusia yang beradab (insan kamil)—yakni cerdas intelektual, matang emosional, dan taat spiritual. Oleh karena itu, guru tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an dan ilmu duniawi, tetapi juga menanamkan iman, akhlak mulia, dan ketakwaan, sehingga ilmu yang disampaikan tidak hanya bermanfaat di dunia, tetapi juga bernilai ibadah dan keselamatan di akhirat.

Implikasi dari filosofi ini adalah bahwa seorang guru harus menjadi teladan (uswah hasanah) yang hidupnya mencerminkan ilmu dan adab yang diajarkannya. Dalam tradisi Islam, adab seorang murid kepada guru (ta’dīb) diletakkan di atas ilmu itu sendiri, sebagaimana dicontohkan dalam kisah Nabi Musa dan Khidir. Hubungan antara guru dan murid adalah ikatan spiritual yang mendalam, didasari oleh rasa hormat, ketulusan (ikhlas), dan kasih sayang. Tanggung jawab guru sangat berat karena ia bertanggung jawab tidak hanya kepada murid dan orang tua, tetapi terutama kepada Allah SWT. Kualitas seorang guru diukur bukan dari seberapa banyak fakta yang ia sampaikan, tetapi dari seberapa baik ia berhasil membersihkan hati murid (tazkiyatun nufus) dan mengarahkan potensi fitrah mereka agar sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, menjadikannya kunci utama bagi pembentukan peradaban Islam yang kokoh.

logo hari guru nasional 2025

Related Post

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top