
Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.
Home » Humanisme versus Agama
Humanisme atau faham kemanusiaan merupakan sebuah kata yang populer, bahkan sudah menjadi etika universal. Siapa orang yang akan menolak humanisme? Karena dalam fikiran kita, dan banyak orang, humanisme atau kemanusian identik dengan kasih sayang serta perilaku tolong menolong antar sesama manusia. Namun, jika kita kembali berkunjung ke masa-masa sekitar dua ratus bahkan empat ratus tahun yang lalu, tepatnya di Eropa, tempat lahirnya faham humanisme, maka kita akan mendapati pengertiannya yang jauh berbeda dari apa yang kita ketahui. Dalam sejarah, humanisme lahir sebagai bendera perlawanan terhadap agama. Bagaimanakah sejarahnya? Lalu, bagaimanakah pandangan Islam terhadap humanisme?
Bagi kebanyakan sejarahwan barat, pohon humanisme yang tumbuh di barat, benihnya berasal dari tanah Yunani.
Pada abad kelima sebelum Masehi, di Athena, muncul filsuf Sokrates yang mengajarkan bahwa masalah kehidupan hendaknya diselesaikan oleh manusia, bertentangan dengan kepercayaan umum tentang berdoa dan meminta kepada Tuhan dan dewa-dewa. Dianggap meracuni fikiran para pemuda Yunani, maka Sokrates dihukum mati pada tahun 399 s.M.
Lalu, setelah Sokrates, muridnya yang cemerlang, Aristoteles, melanjutkan meciptakan benih-benih humanisme, terutama dalam filsafatnya yang mengatakan bahwa manusia hanyalah binatang yang berfikir, bukan makhluk mulia yang turun dari surga.
Singkatnya, filsafat Yunani dianggap telah menyediakan benih-benih humanisme bagi para pemikir Eropa di kemudian hari, yaitu dengan upaya menggeser otoritas pencipta kebenaran, dari Tuhan kepada manusia. Kebenaran tidak selalu datang dari kitab suci atau dari nabi; kebenaran dapat dicari dengan akal, dengan berfikir logis.
Pada perkembangan selanjutnya, gagasan Yunani mengenai otoritas manusia-rasional tersembunyi di bawah kabut agama Kristen yang lahir pada abad pertama Masehi dan berkembang pesat pada abad keempat.
Pada mulanya, Nabi Isa, seperti halnya nabi-nabi sebelumnya, mengajarkan monoteisme (tauhid) di Yerussalem, namun setelah peristiwa penyaliban, seorang tokoh bernama Paulus berdakwah, berkelana, dari Yerussalem hingga Roma, dan mengubah ajaran monoteisme Nabi Isa secara radikal, terutama mengenai dosa asal, ketuhanan Isa (Yesus), dan faham trinitas yang menjadi pondasi agama Kristen saat ini.
Baca Lebih Lanjut: Sejarah Agama Kristen
Lalu, pada abad kedua, komunitas-komunitas Kristen telah tumbuh di setiap kota-kota besar seperti Yerussalem, Alexandria, Antiokia, Konstantinopel, dan Roma. Komunitas tersebut dikenal dengan nama Gereja, Church, atau Ecclesia. Perlahan, Gereja berkembang menjadi organisasi yang puncak strukturnya diduduki oleh seorang uskup. Kemudian pada perkembangan selanjutnya, uskup Roma mengklaim otoritas agama Kristen di atas semua uskup lainnya dan inilah yang melahirkan Gereja Katolik Roma. Uskup Roma dipanggil Paus (Pope).
Sebagai pemimpin tertinggi agama Kristen, Paus memegang otoritas spiritual, menafsirkan versi benar dari Kristen, dan mengelola organisasi Gereja. Bagaikan seorang presiden atau raja, Paus memerintah komunitas-komunitas Kristen lintas negara, mulai dari mengumpulkan dana amal hingga menetapkan buku-buku yang aman dibaca dan yang terlarang dimiliki.
Sejak abad keempat hingga seribu dua ratus tahun setelahnya, Kristen memang sibuk dengan perdebatan tentang trinitas, tetapi mulai abad keenam belas, Paus dan para tokoh Kristen mulai sibuk menghadapi intelektual-intelektual dan para filsuf Eropa yang berniat meruntuhkan otoritas Kristen dan agama serta menggaungkan-ulang ide Yunani tentang kemampuan manusia untuk berfikir-bebas dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial (tanpa perlu campur tangan Tuhan). Pada abad ke-enam belas, humanisme lahir di Eropa untuk menantang agama Kristen. Mengapa ini terjadi? Apakah latar belakangnya?
Berawal dari sekolah-sekolah filsafat di Andalusia-Islam yang dihadiri oleh murid-murid Eropa, di antaranya Francis Bacon. Sejak saat itu, filsafat Yunani yang telah menjadi bagian dari kebudayaan Islam mulai berpindah-tangan kepada Bangsa Eropa.
Namun berbeda dari para filsuf Muslim yang menggunakan filsafat hanya untuk meneguhkan keesaan Tuhan (tauhid), para filsuf Eropa menggunakan filsafat justru sebagai palu untuk menghantam agama Kristen.
Sejak bertemu orang-orang Arab-muslim, para filsuf Eropa mulai membawa metode ilmiah ke Iberia, Prancis, Jerman, dan Inggris. Metode pengamatan-indrawi (empirisme) mulai dikembangkan bersamaan dengan lahirnya gagasan tentang pentingnya akal (rasionalisme) dan keduanya menjadi pondasi kebenaran Eropa.
Sebagai dampaknya, Eropa mulai bangkit dari keterpurukan intelektual. Pengamatan demi pengamatan dilakukan di berbagai bidang, di antaranya astronomi. Pada tahun 1610, Galileo Galilei mengamati empat buah bulan yang mengorbit Jupiter, tidak mengorbit bumi. Penemuan hasil pengamatan teleskop ini membuktikan bahwa tidak semua benda langit mengorbit bumi: bumi bukan pusat alam semesta seperti yang menjadi dogma Gereja. Penemuan ilmiah Galileo mengkonfirmasi pandangan ilmuwan Polandia, Nicolaus Copernicus pada tahun 1543 tentang heliosentris (matahari pusat alam semesta, bukan bumi).
Akibat penemuan ilmiahnya, Galileo diseret ke pengadilan Gereja pada 13 Februari 1633, lalu dijatuhi hukuman tahanan rumah oleh Paus Urban VIII. Dia kemudian menghabiskan sisa hidupnya di vila miliknya di Arcetri dekat Florence sebelum meninggal dunia pada 8 Januari 1642.
Namun demikian, Galileo masih terbilang beruntung dibandingkan ilmuwan Italia lainnya, Giordano Bruno. Karena percaya bahwa alam semesta ini tidak terbatas dan bintang-bintang adalah matahari yang jauh yang dikelilingi planet-planet seperti matahari kita, ilmuwan ini pun diseret ke pengadilan Gereja di Roma pada 1600 dan dijatuhi hukuman bakar.
Mungkin tidak ada batas yang terlalu jelas soal kapan humanisme lahir di Eropa, tetapi tragedi yang dialami Galileo dan Bruno umum dianggap sebagai monumen bangkitnya ilmu pengetahuan (sains modern) dan keperkasaan akal manusia di atas wahyu dan agama.
Sejak abad ketujuh belas, para filsuf dan ilmuwan melihat alam semesta ini tidak lagi berdasarkan wahyu Tuhan yang tercantum dalam Kitab Suci; mereka tidak lagi menyebutkan tentang surga, Adam, Iblis atau apapun yang diceritakan Alkitab Kristen, sebab semua itu tidak dapat diverifikasi dengan panca indra.
Sejarah alam yang diharapkan oleh para humanis adalah sejarah yang disusun berdasarkan penemuan-penemuan empiris dan dapat dipahami oleh akal manusia. Selain itu, dalam aspek moralitas, manusia pun diharapkan oleh para humanis untuk tidak lagi merujuk kepada kitab suci.
Bagi kaum humanis, selama ilmu pengetahuan masih merujuk kepada Alkitab dan sepanjang moralitas masih mengikuti wahyu ilahi, maka selama itu pula manusia belum sepenuhnya menjadi manusia. Dengan membebaskan-diri dari Tuhan sepenuhnya dan bergantung pada akal, barulah manusia merdeka sebagai manusia. Faham kemerdekaan dari agama inilah yang disebut ateisme.
“Radikalisasi “moral rasional” (Vernunftsmoral) adalah sumbangan pertama kaum humanis ateistis. Moral rasional adalah moral yang tidak diturunkan dari wahyu dan tradisi religius, melainkan dari akal belaka. Moral yang imanen pada kemanusiaan kita ini menjadi proyek lama sejak Kant dan the Deist pada abad ke-18. Para humanis Pencerahan ini masih menerima eksistensi Tuhan, meskipun peranan-Nya sangat minimal dalam sejarah, jika tidak ingin mengatakan tidak ada sama sekali” (F. Budi Hardiman, Humanisme dan Sesudahnya)
Humanisme yang kini menjadi “agama” nomor wahid di dunia, tumbuh pertama kali di Eropa melalui berbagai macam pemikiran-pemikiran para filsuf alam dan filsuf sosial.
Kita telah mendengar sebelumnya tentang martir humanisme, Galileo dan Bruno. Setelah mereka, pemikiran-pemikiran ilmiah di bidang alam dan di bidang sosial masih terus diterbitkan secara gencar. Semua tulisan ditujukan untuk membebaskan manusia dari Tuhan. Berikut ini merupakan beberapa produk pemikiran humanisme yang lahir di Eropa pada masa lalu dan masih bertahan hingga hari ini:
Humanisme sebagaimana kita saksikan sejarahnya dan kita ketahui produk pemikirannya, merupakan sebuah paham yang bertentangan dengan agama Islam. Lalu, bagaimanakah kita menyikapinya? Lagi pula, bukankah dasar kedua negara Indonesia adalah humanisme atau kemanusiaan?
Langkah terpenting bagi kita adalah mengkategorikan humanisme yang menolak Tuhan dan mendewakan akal sebagai humanisme sekuler.
Humanisme sekuler merupakan bentuk kekufuran modern karena beberapa alasan yang jelas:
Lalu, humanisme macam apakah yang dapat kita terima? Humanisme yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, yaitu:
Kelas Digital MisterArie adalah website belajar online terbaik dan terpercaya dalam menyediakan bagi kalian referensi, pengayaan dan bimbingan belajar.