Home » Sejarah Prancis
Prancis, yang terletak di Eropa Barat, memiliki sejarah yang sangat panjang. Wilayah ini telah dihuni oleh berbagai suku-suku selama ribuan tahun, termasuk suku-suku Celtic yang mendiami wilayah tersebut sejak zaman prasejarah. Pada zaman Kuno, Prancis dikenal sebagai Gaul oleh bangsa Romawi, yang menginvasi wilayah tersebut pada tahun 58 SM.
Baca juga: Sejarah Irlandia, Sejarah Skotlandia, Sejarah Inggris
Suku-suku Celtic yang mendiami wilayah Prancis sebelum kedatangan bangsa Romawi adalah suku-suku yang terdiri dari banyak klan. Mereka hidup dalam masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang saling bersaing satu sama lain. Dalam hal agama, suku-suku Celtic ini memiliki kepercayaan yang kuat terhadap para dewa-dewi dan praktik magis. Selain itu, dalam kebudayaan, mereka juga mengembangkan seni dan musik yang indah.
Lalu, pada tahun 58 SM, Julius Caesar pun datang ke tanah Gaul dan memimpin pasukan Romawi untuk menaklukkan apa yang kini kita sebut Prancis. Perang antara bangsa Romawi dan bangsa Celtic pun tak terhindarkan terjadi selama beberapa dekade, tetapi akhirnya bangsa Romawi berhasil menguasai wilayah tersebut. Orang-orang Gaul pun “ter-Romawikan”. Bangsa Romawi membawa kebudayaan mereka ke Prancis, termasuk bahasa Latin dan arsitektur Romawi.
Di antara kebudayaan Romawi yang mengubah orang-orang Gaul adalah agama Kristen. Pada awalnya, ajaran Kristen dibawa oleh para penginjil dan misionaris dari Yerussalem pada abad pertama masehi yang melakukan perjalanan ke seluruh wilayah Mediterania dan Eropa. Selanjutnya, Santo Yustinus, seorang filsuf Kristen dari abad ke-2 Masehi datang memperkenalkan Kristen ke wilayah Prancis selatan. Ia mengajar tentang kepercayaan Kristen dan berbicara dengan orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama.
Selanjutnya, pada abad ke-5 Masehi, yaitu masa-masa kemunduran Romawi, wilayah Gaul pun jatuh ke tangan suku-suku Jermanik seperti Visigoth dan Franka. Suku Visigoth sendiri berasal dari wilayah yang sekarang dikenal sebagai Swedia atau Skandinavia, sementara suku Franka berasal dari wilayah yang sekarang dikenal sebagai Jerman. Pada masa-masa selanjutnya, kehidupan masyarakat di Prancis pada masa ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan tradisi suku-suku tersebut.
Visigoth dan Franka berbagi wilayah di Gaul. Visigoth bermukim di Prancis selatan, di sekitar kota Toulouse. Mereka memeluk agama Kristen Arian (sekte Kristen yang menganggap Isa atau Yesus hanya manusia suci yang memiliki mukjizat), yang berbeda dengan agama Katolik yang umum di seluruh Eropa pada masa itu yang menganut ajaran Athanasius (yang mengajarkan ketuhanan Yesus). Adapun dalam hal kehidupan sosial dan politik, Visigoth dipimpin oleh raja-raja yang memerintah dari kota Toulouse.
Sementara itu, Franka bermukim di Prancis utara. Mereka memeluk agama Katolik (ajaran Athanasius) dan dikenal sebagai salah satu suku bangsa paling kuat dan agresif pada abad ke-5 dan 6 Masehi. Bangsa yang namanya menjadi asal-usul nama Prancis ini, secara sosial-politik dipimpin oleh raja-raja yang memerintah dari kota Paris, yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Prancis.
Kehidupan masyarakat pada masa Visigoth dan Franka ditandai oleh sistem sosial yang sangat hierarkis dan feodal. Di atas raja-raja ada kaum bangsawan yang memiliki kekuasaan atas tanah dan kekuasaan politik di wilayah-wilayah mereka. Adapun di bawah mereka adalah rakyat jelata yang bekerja sebagai petani atau buruh. Raja-raja Franka dan Visigoth memerintah dari istana mereka di tengah-tengah wilayah mereka, dan membagi wilayah mereka menjadi county yang diperintah oleh bangsawan yang setia kepada mereka.
Meskipun Visigoth dan Franka sama-sama berakar dari suku-suku Jermanik, tetapi mereka memiliki tujuan yang berbeda. Keduanya memang sering terlibat dalam perang yang sama melawan bangsa-bangsa tetangga mereka, termasuk suku-suku Jermanik lainnya dan bangsa Romawi Timur, tetapi perpecahan politik di antara mereka berdua pun tidak terhindarkan.
Pada abad ke-8 Masehi, bangsa Franka berhasil menaklukkan Visigoth dan menguasai sebagian besar wilayah Prancis. Penaklukan ini kurang lebih bersamaan dengan masuknya Islam ke Iberia di selatan Prancis. Setelah Franka menguasai Gaul, Paris dijadikan pusat pemerintahan yang kuat dan tanah bangsa Frank atau Prancis pun menjadi salah satu kekuatan politik terkemuka di Eropa pada saat itu.
Pada tahun 732 Masehi, Pasukan Islam di Andalusia (yang kini merupakan Spanyol) berupaya memperluas kekuasaannya ke utara, ke wilayah Prancis selatan. Abdurrahman Al-Ghafiqi yang menjadi panglima perang muslim berhadapan dengan Charles Martel atau Charles “si Palu”, panglima perang Prancis yang berhasil menyatukan pasukan-pasukan dari seluruh wilayah Prancis untuk memenangkan perang ini. Pertempuran yang terjadi di wilayah Tours ini pun dimenangkan oleh Prancis.
Bagi raja-raja Islam di Andalusia, pertempuran ini hanya menandai ujung paling barat dari imperium Islam yang terbentang dari India di Timur, tetapi bagi Prancis dan tentunya bagi negara-negara Eropa, pertempuran ini sangat penting karena jika pada peperangan ini Al-Ghafiqi memenangkan pertempuran maka dapat dipastikan laju ekspansi Islam akan bergerak lebih jauh ke wilayah-wilayah Eropa Barat.
Beberapa masa setelah Pertempuran Tours, Prancis mengalami beberapa perubahan signifikan. Pada mulanya, Prancis masih diperintah oleh Dinasti Karolingia yang mengalami kemunduran dan kekacauan politik setelah kematian Charlemagne pada tahun 814 Masehi. Lalu, pada masa-masa setelahnya kekuasaan Kerajaan Prancis pun dibagi-bagi oleh para bangsawan dan penguasa lokal yang berjuang untuk menguasai wilayah tersebut.
Pada saat yang sama, agama Kristen menjadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat Prancis. Gereja Katolik memiliki pengaruh yang kuat dalam masyarakat Prancis pada periode ini, dan agama Kristen memainkan peran penting dalam pengaturan sosial dan politik. Selama abad ke-10 dan ke-11, beberapa gereja besar dibangun di Prancis, termasuk Katedral Notre Dame di Paris dan pada abad inilah Paus Urbanus II menyerukan Perang Salib, memanggil para pemimpin Gereja dan bangsawan Eropa untuk berperang melawan umat Islam di Timur Tengah. Kata Urbanus di Clermont, Prancis,
“Saudara-saudara yang terkasih, hari ini saya datang ke tengah-tengah kalian, bukan untuk membahas masalah kecil atau mengajak kalian untuk memperjuangkan kepentingan pribadi, tetapi untuk memanggil kalian ke jalan keselamatan bersama-sama, untuk memimpin kalian ke tanah suci, untuk membebaskan umat Kristen dari penindasan kaum Muslim.”
Pada periode masuknya Kristen ini, bangsa Prancis mulai membentuk sebuah kerajaan yang terpusat di kota Paris. Kerajaan Prancis pun dipimpin oleh raja-raja yang kuat seperti Charlemagne dan Louis XIV. Lalu, pada abad ke-15, Prancis menjadi negara besar di Eropa dengan seni, sastra, dan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat.
Baca Juga: Perbedaan antara Abad Kuno, abad Pertengahan, dan Abad Modern
Politik Prancis pada abad pertengahan ini ditandai oleh perjuangan kekuasaan antara raja dan kaum bangsawan. Raja-raja Prancis berusaha untuk memperkuat kekuasaan mereka dengan cara membentuk sistem administrasi yang kuat dan membangun benteng-benteng di seluruh wilayah. Namun, mereka sering berhadapan dengan oposisi dari kaum bangsawan yang merasa bahwa kekuasaan raja terlalu besar.
Konflik antara raja dan bangsawan tersebut berlangsung selama beberapa abad. Namun, dalam periode panjang itu, terjadi pula konflik yang mematikan terjadi antara tahun 1562 dan 1598 (tiga puluh enam tahun), yaitu konflik antara Katolik dan Protestan.
Sebelumnya, Protestan telah masuk ke Prancis sejak awal abad ke-16 sebagai gelombang penyebarang Protestan yang dimulai oleh Marthin Luther di Jerman. Di Prancis, gerakan Kristen ini dipimpin oleh tokoh-tokoh yang terkenal di antaranya adalah John Calvin (ajarannya disebut Calvinisme). Di antara ajaran John Calvin yang membuat gusar Gereja Katolik adalah sebagai berikut:
Praedestinasi: Calvinisme mengajarkan bahwa Allah telah menentukan sejak awal siapa yang akan diselamatkan dan siapa yang tidak. Ini berarti bahwa keselamatan seseorang tergantung pada kehendak Allah, bukan pada perbuatan manusia.
Kedaulatan Allah: Calvinisme juga mengajarkan bahwa Allah memegang kendali penuh atas segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, termasuk nasib manusia. Hal ini berarti bahwa tidak ada yang dapat terjadi di dunia ini tanpa izin Allah.
Otoritas Kitab Suci: Calvinisme menekankan pentingnya Kitab Suci sebagai sumber ajaran keagamaan yang otoritatif. Calvin juga menekankan pentingnya penerjemahan dan penyebaran Kitab Suci dalam bahasa yang dapat dimengerti oleh rakyat jelata.
Kepemilihan: Calvinisme mengajarkan bahwa orang-orang yang telah dipilih oleh Allah untuk diselamatkan harus mengikuti perintah Allah dan hidup menurut kehendak-Nya.
Moralitas: Calvinisme juga menekankan pentingnya moralitas dan integritas pribadi. Calvinisme mengajarkan bahwa orang-orang yang telah dipilih oleh Allah harus hidup dengan cara yang benar dan menunjukkan integritas dalam semua aspek kehidupan mereka.
Gereja: Calvinisme menekankan pentingnya Gereja sebagai wadah umat beriman yang saling mendukung dan saling memperbaiki. Calvinisme mengajarkan bahwa Gereja harus terpisah dari kekuasaan politik dan harus mengikuti prinsip-prinsip moral dan spiritual yang tertuang dalam Kitab Suci.
Gerakan Calvinisme tersebut tidak disambut baik di Prancis, sebab, menurut Perjanjian Concordat of Bologna pada tahun 1516, antara Raja Francis I dan Paus Leo X, Prancis akan tetap menjadi negara Katolik, sehingga sejak masa pemerintahan Raja Francis I, Huguenot (sebutan pejoratif untuk Protestan Prancis) tidak memperoleh kebebasan beragama.Â
Selanjutnya, pada masa pemerintahan Raja Charles IX, ketegangan antara kedua pihak tersebut semakin meningkat. Puncaknya terjadi pada tahun 1572, ketika terjadi Pembantaian Malam St. Bartholomew.
Pembantaian di Malam St. Bartholomew terjadi pada 24 Agustus 1572 di Paris, Prancis, saat kerajaan Prancis dipimpin oleh Raja Charles IX dari Wangsa Valois. Pada saat itu, sejumlah besar pemimpin Protestan Prancis, termasuk Gaspard de Coligny, yang merupakan pemimpin militer Protestan, berada di Paris untuk merayakan pernikahan antara putri Raja Charles IX, Marguerite de Valois, dengan Henri de Navarre, seorang Pangeran Protestan.
Namun, pada malam pernikahan, beberapa pemimpin Katolik menuduh Coligny merencanakan pembunuhan Raja Charles IX dan menghasut para pangeran Katolik untuk membunuh Coligny dan para pemimpin Protestan lainnya. Raja Charles IX sendiri awalnya menolak usulan tersebut, tetapi akhirnya menyetujuinya setelah dipengaruhi oleh ibunya, Catherine de’ Medici.
Pada malam itu, pasukan Katolik memulai serangan terhadap para pemimpin Protestan di seluruh kota Paris, dan pembantaian tersebut berlangsung selama tiga hari. Tidak hanya para pemimpin Protestan yang menjadi korban, tetapi juga ribuan orang Protestan lainnya di seluruh Prancis. Beberapa sumber mengatakan bahwa jumlah korban tewas berkisar antara 5.000 hingga 30.000 orang.
Pembantaian di Malam St. Bartholomew menjadi momen penting dalam sejarah Perang Agama Prancis, dan memperburuk hubungan antara umat Katolik dan Protestan di Prancis. Pembantaian tersebut juga menandai dimulainya periode penindasan terhadap umat Protestan di Prancis, yang berlangsung selama beberapa dekade.
Untungnya, pada akhirnya Perang Agama Prancis tersebut berakhir dengan penandatanganan Edict of Nantes pada tahun 1598 dan Prancis pun mengalami masa damai selama sekitar 50 tahun.
Setelah konflik Protestan dan Katolik usai, Prancis kembali mengalami konflik. Jika dahulu, terjadi konflik antara raja dan para bangsawan, maka kini, terjadi konflik antara dua pihak yang sama: antara raja dan bangsawan serta rakyat Prancis. Konflik ini disebut Fronde.Â
Mengapa disebut Fronde? Karena Fronde dalam bahasa Prancis artinya “peluru katapel”. Hal ini merujuk pada aksi para pengunjuk rasa yang menggunakan peluru katapel untuk melawan tentara kerajaan yang menguasai kota Paris. Selain itu, nama Fronde juga dapat bermakna “pemberontakan” atau “perlawanan” karena peristiwa ini merupakan upaya pemberontakan bangsawan Prancis terhadap kebijakan absolutisme raja.
Peristiwa Fronde terjadi di Prancis pada awal abad ke-17, sekitar tahun 1648 hingga 1653. Peristiwa ini merupakan pemberontakan yang terjadi sebagai reaksi terhadap kebijakan absolutisme Raja Louis XIV dari wangsa Bourbon.
Pemberontakan Fronde ini bermula dari kebijakan fiskal Raja Louis XIV yang membebani rakyat Prancis, termasuk pajak yang tinggi dan kenaikan harga bahan pangan. Selain itu, kebijakan pemerintah yang sentralistik dan otoriter juga menjadi pemicu pemberontakan. Hal ini membuat sejumlah pihak, termasuk kaum bangsawan, mengkritik pemerintahan Raja Louis XIV.
Fronde sendiri terjadi dalam dua tahap yang berbeda. Tahap pertama terjadi antara tahun 1648 hingga 1653 dan dikenal sebagai Fronde Parlementaire, yang melibatkan kaum bangsawan dan parlemen yang menentang kebijakan Raja Louis XIV. Tahap kedua terjadi antara tahun 1650 hingga 1653 dan dikenal sebagai Fronde des princes, yang melibatkan para bangsawan yang menentang kebijakan Raja Louis XIV dan ingin mempertahankan kebebasan mereka.
Pada tahap awal Fronde, parlemen Prancis menolak untuk mengesahkan pajak yang diajukan oleh Raja Louis XIV, sehingga menyebabkan ketidakstabilan politik dan ketegangan antara raja dan kaum bangsawan semakin meningkat.Â
Lalu, pada tahap kedua Fronde, para bangsawan melakukan pemberontakan secara terorganisir dan membentuk koalisi melawan Raja Louis XIV, dengan dukungan dari negara-negara lain di Eropa.
Namun demikian, gerakan Fronde akhirnya mengalami kegagalan dan Raja Louis XIV pun berhasil mempertahankan kekuasaannya. Fronde menandai kegagalan para bangsawan untuk mempertahankan hak dan kebebasan mereka, dan mengakibatkan kebijakan absolutisme Raja Louis XIV semakin kuat.
Meskipun begitu, Fronde juga merupakan momen penting dalam sejarah Prancis karena menunjukkan adanya perlawanan terhadap kekuasaan absolutisme dan menginspirasi gerakan revolusioner Prancis di kemudian hari, gerakan revolusioner yang akan dicatat dalam sejarah sebagai “Revolusi Prancis.”
Sejak kegagalan Fronde di atas, masyarakat semakin tidak puas terhadap pemerintahan monarki absolut yang dipimpin oleh raja-raja Bourbon, karena selama berabad-abad, raja-raja Prancis terus memperkuat kekuasaannya dengan mengesampingkan kepentingan rakyat.Â
Kehidupan ekonomi rakyat pun menjadi terpuruk karena pajak yang tinggi dan pada saat yang sama pemerintah juga gagal mengatasi masalah ekonomi dan sosial di Prancis. Dan pada saat itulah pemikiran-pemikiran pencerahan yang menyebar di Eropa pada abad ke-18 juga turut memengaruhi tuntutan-tuntutan reformasi di Prancis.
Selanjutnya, pada tanggal 5 Mei 1789, Raja Louis XVI mengumpulkan Majelis Umum yang terdiri dari anggota aristokrat, rohaniwan, dan kaum borjuis untuk membahas masalah pajak. Namun, anggota Majelis yang berasal dari kaum borjuis (kaum bangsawan, pedagang, dan pengusaha Prancis) menolak untuk mengikuti tuntutan pajak yang diajukan oleh raja.
Sebagai kelanjutannya, penolakan tersebut akhirnya memicu pembentukan Majelis Nasional Konstituen yang beranggotakan dari semua lapisan masyarakat Prancis, termasuk para borjuis dan kaum tani. Majelis ini kemudian menyusun Konstitusi baru yang menghapus kekuasaan absolut raja dan memberikan kekuasaan kepada parlemen.Â
Namun, tentu saja aksi rakyat tersebut membuat raja gusar. Raja Louis XVI menolak Konstitusi tersebut dan memerintahkan pasukan militer untuk menyerbu Majelis pada tanggal 20 Juni 1789 yang berbuntut meledaknya amarah rakyat Prancis.
Maka, aksi protes dan kerusuhan pun meledak di seluruh negeri. Pada tanggal 14 Juli 1789, massa rakyat Prancis menyerbu Bastille, penjara kuno di Paris yang menjadi lambang kekuasaan raja. Serangan ini dianggap sebagai tanda dimulainya Revolusi Prancis. Setelah itu, pemerintah berusaha untuk mengendalikan situasi dengan cara-cara represif, namun hal ini justru memperkuat semangat revolusioner dan pada akhirnya Revolusi Prancis berhasil menggulingkan monarki dan memproklamirkan Republik Prancis pada tahun 1792.
Setelah Revolusi Prancis pada 1789, Prancis menjadi sebuah negara republik dan mengalami serangkaian perubahan politik dan sosial yang signifikan. Pada awal abad ke-19, Prancis menjadi kekaisaran yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte.
Pada masa Napoleon Bonaparte, Prancis menjadi sebuah kekaisaran yang kuat dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan di Eropa dan dunia. Napoleon naik ke tampuk kekuasaan setelah kudeta militer pada tahun 1799 dan memulai serangkaian kampanye militer untuk memperluas wilayah kekaisarannya.
Napoleon berhasil menaklukkan banyak wilayah di Eropa dan menguasai wilayah Prancis yang terdiri dari sebagian besar Eropa Barat, termasuk Italia, Belanda, Spanyol, dan sebagian besar Jerman. Ia juga melakukan beberapa reformasi politik dan sosial di Prancis, termasuk memberikan hak politik dan kemajuan ekonomi kepada kaum borjuis, meskipun kekuasaannya sangat otoriter.
Namun, keberhasilan Napoleon tidak berlangsung lama. Pada tahun 1812, ia memulai serangan ke Rusia yang gagal, dan pada tahun 1814, kekaisarannya runtuh dan ia diasingkan ke pulau Elba. Namun, ia berhasil kembali ke Prancis pada tahun 1815 dan mengambil alih kekuasaan untuk sementara waktu sebelum dikalahkan dalam Pertempuran Waterloo dan diasingkan ke pulau Saint Helena, tempat ia meninggal pada tahun 1821.
Masa kekuasaan Napoleon dianggap sebagai salah satu masa penting dalam sejarah Prancis karena dampaknya yang signifikan pada politik, ekonomi, dan budaya Prancis serta Eropa secara keseluruhan. Meskipun keberhasilannya diikuti dengan kegagalan dan kehancuran, pengaruh Napoleon terhadap Prancis dan Eropa masih terasa hingga saat ini.
Setelah Napoleon jatuh, terjadi Restorasi Bourbon. restorasi ini berlangsung dari 1814 hingga 1830. Setelah Napoleon dikalahkan dalam Perang Napoleonik, Bourbon diangkat kembali ke takhta Prancis dengan Louis XVIII sebagai raja.
Pada awalnya, raja dan parlemen yang diangkat olehnya mengadopsi sebagian besar undang-undang dan institusi dari masa Revolusi Prancis, seperti konstitusi liberal dan undang-undang kode Napoleon. Namun, di kemudian hari, pemerintah Bourbon menjadi semakin konservatif dan otoriter, dan meluncurkan kebijakan-kebijakan yang membatasi kebebasan pers, persidangan, dan hak-hak sipil.
Oleh karena itu, banyak orang di Prancis merasa tidak puas dengan pemerintah Bourbon dan melihat mereka sebagai penghalang terhadap reformasi dan kemajuan. Perasaan tersebut pun menyebabkan terjadinya Revolusi 1830, yang berhasil menggulingkan raja Bourbon dan mengangkat raja Louis Philippe dari Wangsa Orléans sebagai raja baru.
Raja Louis Philippe dari Wangsa Orléans memimpin Prancis dengan pandangan politik yang moderat, menggabungkan prinsip-prinsip liberalisme dan konservatisme. Selama masa pemerintahannya, ekonomi Prancis berkembang pesat, industri mengalami kemajuan, dan Prancis menjadi salah satu negara terkemuka di Eropa.
Namun, pada 1848, terjadi Revolusi Februari di Prancis, yang menggulingkan Raja Louis Philippe dan mengakhiri Monarki Juli. Revolusi ini diikuti oleh pendirian Republik Prancis Kedua yang berlangsung hingga 1852. Selama periode ini, Prancis mengalami berbagai perubahan politik dan ekonomi, termasuk pembentukan undang-undang baru dan pembangunan infrastruktur.
Pada 1852, Louis-Napoléon Bonaparte melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai kaisar Prancis, dengan gelar Napoleon III. Masa kekuasaan Napoleon III dikenal sebagai Kekaisaran Kedua, yang berlangsung hingga 1870. Selama masa kekuasaannya, Prancis memperluas wilayahnya di luar Eropa, termasuk dengan merebut Indochina dan meningkatkan pengaruhnya di Afrika.
Namun, pada 1870, Prancis mengalami kekalahan dalam Perang Prancis-Prusia, yang menyebabkan runtuhnya Kekaisaran Kedua dan berakhirnya monarki di Prancis. Prancis kemudian memproklamirkan Republik Ketiga dan memulai masa baru dalam sejarahnya.
Pada abad ke-19 ini, Prancis mengalami industrialisasi dan pada Perang Dunia I, Prancis menjadi salah satu negara yang terlibat sehingga menderita kerusakan yang besar akibat perang.
Namun, setelah Perang Dunia II, Prancis menjadi salah satu negara pendiri Uni Eropa dan menjadi negara yang maju dalam bidang ekonomi dan budaya. Meskipun demikian, negara ini juga mengalami permasalahan seperti krisis ekonomi dan masalah politik seperti konflik dengan gerakan kemerdekaan di bekas jajahan Prancis.
Pada abad ke-21, Prancis menjadi negara demokrasi yang stabil dengan kebijakan sosial yang kuat dan diakui sebagai salah satu negara maju di dunia. Namun, seperti negara lainnya, Prancis juga menghadapi tantangan seperti imigrasi dan terorisme.
@ 2023 MisterArie. All right reserved.